July 30, 2011

Hadits Abu Hurairah Radhiyallah 'Anhu

Hadits Abu Hurairah Radhiyallah 'Anhu
(Oleh: Hasanal Khuluqi)


Keyakinan kaum muslimin terhadap Al-Qur'an sempat terguncang dengan penggunaan metode tafsir hermeneutika, berikutnya giliran Hadits yang menjadi objek metode kritik historis para orientalis. Dari hasil kajian metode tersebut, Ignaz Goldziher dalam bukunya Muhammedanische Studien menyangsikan akan otentisitas hadits. Karena menurut hasil penelitiannya, mata rantai sanad baru ada dan dibuat pada abad kedua Hijriah ketika kaum muslimin mengalami kemajuan di bidang politik, sosial, dan kebudayaan. Bahkan Josept Schacht dalam bukunya Origins of Muhammedan Jurisprudence dengan teori back projection sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada satu hadits pun yang otentik berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.
Di sisi sanad, menurut para orientalis ada beberapa orang perawi yang periwayatannya seharusnya tidak diterima, seperti Abu Hurairah. Sedangkan di sisi matan, ditemukan beberapa matan Hadits yang tidak rasional, misogini, atau bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits yang lain. Tidak hanya itu, hasil kajian metode para orientalis tersebut juga menolak adanya kualifikasi Imam Bukhari dalam penentuan tingkat validitas hadits; shahih, hasan, dan dha'if.
Dari beberapa hasil kajian para orientalis tersebut, ada satu yang menarik yaitu tentang validitas periwayatan Abu Hurairah Radhiyallah 'anhu, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Padahal menurut catatan sejarah, Abu Hurairah termasuk sahabat yang terakhir masuk Islam yaitu pada tahun ketujuh Hijriah di saat terjadi perang Khaibar. Di samping itu Abu Hurairah memiliki nama dan nasab yang diperdebatkan oleh para ulama.
Hasil kajian orientalis ini diadopsi oleh murid-murid mereka dari kalangan muslim, seperti; Thaha Husain, Mahmud Abu Rayyah, dan Ahmad Amin yang semuanya berasal dari Mesir. Mereka menolak kaidah para ulama Ash-Shahabah Kulluhum 'Udul (seluruh sahabat terpercaya), dengan alasan bahwa di kalangan para sahabat sering terjadi kritik mengkritik yang menunjukkan bahwa mereka juga manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa. Bahkan pada zaman fitnah, di kalangan para sahabat ada yang saling mengkafirkan dan menghalalkan darah sesamanya.
Penolakan para orientalis terhadap kaidah Ash-Shahabah Kulluhum 'Udul (seluruh sahabat terpercaya) memiliki konsekwensi perlunya diberlakukan kaidah Jarh wa Ta'dil kepada para sahabat. Dari kalangan para sahabat yang paling banyak mendapatkan sorotan para orientalis adalah Abu Hurairah Radhiyallah 'anhu karena dianggap banyak memiliki kejanggalan. Disamping itu Abu Hurairah Radhiyallah 'anh memiliki posisi yang sangat strategis dalam periwayatan hadits, ia adalah orang yang paling banyak meriwayatkan hadits. Sehingga jika 'vonis' Jarh jatuh kepada Abu Hurairah Radhiyallah 'anhu, maka seluruh hadits yang diriwayatkannya pun akan tertolak, sehingga secara otomatis akan banyak pula ajaran-ajaran Islam yang akan terhapus.

Ash-Shahabah Kulluhum 'Udul
            Kemulian para sahabat tersebut diberikan langsung oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam atas jasa dan pengorbanan mereka menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam mendakwahkan dan memperjuangkan Islam, serta membangun peradaban Islam dengan harta dan jiwa mereka. Melanjutkan estafet perjuangan Islam dengan membentuk generasi baru untuk melanjutkan perjuangan hingga Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Firman Allah Ta'ala, "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar".  (QS. At-Taubah: 100).
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, "Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku, sendainya kalian menginfaqkan emas segunung Uhud niscaya nilainya tidak akan mencapai satu Mud atau separuh dari kemulian salah seorang dari mereka". (HR.Bukhari).
 Ayat dan hadits di atas menunjukkan dengan jelas bahwa para sahabat adalah orang-orang yang mendapatkan pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya, karena mereka memiliki jasa yang teramat besar bagi Islam dan kaum muslimin. Sehingga para ulama menetapkan bahwa seluruh sahabat terpercaya tanpa terkecuali. Memberlakukan kaidah Jarh wa Ta'dil kepada mereka berarti melanggar nash Al-Qur'an dan As-Sunnah.
            Adapun perselisihan dan kritik yang terjadi di antara mereka merupakan sebuah kewajaran, lumrah dan manusiawi. Menurut Musthafa As-Siba'i dalam buku As-Sunnah wa Makanatuhu fi At-Tasyri Al-Islami, hal itu terjadi karena pemahaman para sahabat terhadap Islam sangat variatif sehingga silang pendapat dan diskusi di antara mereka sering terjadi. Namun hal itu bukan berarti perbuatan saling mendustakan di antara mereka, justru yang demikian itu merupakan sebuah kewajaran dan sesuatu yang lumrah dalam tradisi keilmuan. Hal itu terjadi karena para sahabat tidak mengetahui seluruh riwayat yang ada, padahal ada riwayat yang menasakh riwayat sebelumnya, mentakhshish   riwayat yang 'Am, mentaqyid riwayat yang muthlaq, mentafshil riwayat yang mujmal, dan seterusnya. Menukil pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani, As-Siba'i menambahkan bahwa kata 'Kadzabta' (anda dusta) dalam istilah penduduk Madinah berarti 'Akhtha'ta' (anda keliru). Sedangkan yang terjadi pada masa fitnah adalah karena kesalahpahaman belaka dan hasutan orang-orang munafiq yang tidak senang terhadap Islam.
Abu Hurairah Radhiyallah 'anhu
            Nama asli Abu Hurairah adalah Abdurrahman bin Shakhr, nama pemberian Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam yang sebelumnya ia bernama Abdu Syams bin Shakhr, nama inilah yang shahih menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam bukunya Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah. Ia berasal dari Dawus Yaman, sedang Kun yah Abu Hurairah karena ia sering membawa anak kucing (betina) peliharaannya.
            Mengenai namanya yang diperselisihkan oleh para ulama, Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa perselisihan para ulama tentang nama Abu Hurairah yang mencapai tiga puluh atau empat puluh pendapat adalah tidak benar. Karena setelah dilakukan penelitian ternyata hanya tiga riwayat yang shahih, yaitu riwayat yang menyebutkan nama Umair, Abdullah, dan Abdurrahman, dua nama yang pertama adalah nama pada masa jahiliyah dan Islam sedangkan Abdurrahman, nama ketika sudah masuk Islam. Sedangkan nama-nama yang lain adalah hasil rekaan para perawi, seperti lafadz Sa'ad menjadi Said atau lafadz biasa menjadi bentuk Tashghir. Dan perbedaan pendapat para ulama tentang nama seorang sahabat hingga empat atau enam pendapat merupakan suatu hal yang wajar, karena ada beberapa nama sahabat yang namanya diperselisihkan hingga enam pendapat. Musthafa As-Siba'i menambahkan bahwa kredibelitas seseorang tidak dipengaruhi oleh namanya tapi karena tingkat intelektualitas dan amalannya. Sebab ada beberapa nama sahabat yang tidak dikenal kecuali nama Kun yahnya, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallah 'anhu.
            Abu Hurairah Radhiyallah 'anhu datang ke Madinah dan masuk Islam ketika terjadi perang Khaibar pada tahun ke-7 Hijriyah di saat usianya telah mencapai 30 tahun. Ia tinggal bersama sahabat-sahabatnya dari kalangan Ahlu Shuffah, orang-orang miskin dan musafir yang tinggal di bilik Masjid Nabawi dan hidup dari hasil pemberian Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam dan kaum muslimin. Dengan kondisi demikian, ia memiliki kesempatan banyak untuk belajar dari Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam dan banyak meriwayatkan hadits karena selalu bertemu dan menemani Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam. Ia mampu menghafal dan meriwayatkan hadits sebanyak 5374 dalam kurun waktu kurang lebih 4 tahun. Karena  rentang waktu antara Khaibar dan wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam adalah4 tahun beberapa hari, menurut pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Adz-Dzahabi.
            Kemampuan Abu Hurairah Radhiyallah 'anhu menghafalkan hadits sebanyak itu karena selalu bersama (Mulazamah) Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam. Berbeda dengan para sahabat lainnya yang memiliki kesibukan mengurus ladang dan perdagangannya, ada pula yang perhatiannya dicurahkan untuk membantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam urusan peperangan dan pertahanan negara Madinah. Sedangkan Abu Hurairah menetap di bilik Masjid menjadi ahlu Ash-Shuffah yang kehidupannya berasal dari pemberian Rasulullah Shallallah 'alaihi wasallam. Sebagaimana ia ceritakan sendiri, "Jika kalian bertanya kenapa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallah 'alaihi wasallam sedangkan sahabat Muhajirin dan Anshar tidak banyak meriwayatkan hadits seperti Abu Hurairah. Ketahuilah, para sahabat-sahabatku dari kalangan Muhajirin banyak disibukkan dengan urusan perniagaan mereka di pasar sedangkan aku selalu bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, aku bersamanya ketika mereka tidak ada, aku menghafal ketika mereka melupakan…". (HR. Bukhari dan Muslim,). Disamping itu, Abu Huirairah pernah dido'akan oleh Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam, sebagaimana yang juga ia ceritakan, "Wahai Rasulullah aku banyak mendengar hadits darimu tapi aku sering lupa". Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Hamparkanlah kainmu", lalu aku menghamparkannya, kemudian beliau memasukkan kedua tangannya, lalu bersabda, "Ikatlah", kemudian aku pun mengikatnya, setelah itu aku tidak pernah lupa sedikitpun". (HR. Bukhari).
Khatimah
            Tuduhan yang dilakukan oleh para orientalis terhadap Abu Hurairah ternyata tidak terbukti Radhiyallah 'anhu tidak terbukti, sehingga hadits yang diriwayatkannya pun dapat diterima sebagaimana yang telah disepakati seluruh ulama dan kaum muslimin. Para ulama telah membuat proteksi yang kuat untuk menjaga hadits dari serangan musuh-musuh Islam dengan kaidah-kaidah baku yang tidak bisa ditembus oleh siapapun bahkan para orientalis sekalipun. 







Artikel Lainnya: