Hadits Abu Hurairah Radhiyallah 'Anhu
(Oleh: Hasanal Khuluqi)
Keyakinan
kaum muslimin terhadap Al-Qur'an sempat terguncang dengan penggunaan
metode tafsir hermeneutika, berikutnya giliran Hadits yang menjadi objek
metode kritik historis para orientalis. Dari hasil kajian metode
tersebut, Ignaz Goldziher dalam bukunya Muhammedanische Studien menyangsikan akan otentisitas hadits. Karena menurut hasil penelitiannya, mata rantai sanad
baru ada dan dibuat pada abad kedua Hijriah ketika kaum muslimin
mengalami kemajuan di bidang politik, sosial, dan kebudayaan. Bahkan
Josept Schacht dalam bukunya Origins of Muhammedan Jurisprudence dengan teori back projection sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada satu hadits pun yang otentik berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam.
Di
sisi sanad, menurut para orientalis ada beberapa orang perawi yang
periwayatannya seharusnya tidak diterima, seperti Abu Hurairah.
Sedangkan di sisi matan, ditemukan beberapa matan Hadits
yang tidak rasional, misogini, atau bertentangan dengan Al-Qur'an dan
Hadits yang lain. Tidak hanya itu, hasil kajian metode para orientalis
tersebut juga menolak adanya kualifikasi Imam Bukhari dalam penentuan
tingkat validitas hadits; shahih, hasan, dan dha'if.
Dari beberapa hasil kajian para orientalis tersebut, ada satu yang menarik yaitu tentang validitas periwayatan Abu Hurairah Radhiyallah 'anhu, sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Padahal menurut catatan sejarah, Abu Hurairah termasuk sahabat yang
terakhir masuk Islam yaitu pada tahun ketujuh Hijriah di saat terjadi
perang Khaibar. Di samping itu Abu Hurairah memiliki nama dan nasab yang
diperdebatkan oleh para ulama.
Hasil
kajian orientalis ini diadopsi oleh murid-murid mereka dari kalangan
muslim, seperti; Thaha Husain, Mahmud Abu Rayyah, dan Ahmad Amin yang
semuanya berasal dari Mesir. Mereka menolak kaidah para ulama Ash-Shahabah Kulluhum 'Udul
(seluruh sahabat terpercaya), dengan alasan bahwa di kalangan para
sahabat sering terjadi kritik mengkritik yang menunjukkan bahwa mereka
juga manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa. Bahkan pada zaman
fitnah, di kalangan para sahabat ada yang saling mengkafirkan dan
menghalalkan darah sesamanya.
Penolakan para orientalis terhadap kaidah Ash-Shahabah Kulluhum 'Udul (seluruh sahabat terpercaya) memiliki konsekwensi perlunya diberlakukan kaidah Jarh wa Ta'dil kepada para sahabat. Dari kalangan para sahabat yang paling banyak mendapatkan sorotan para orientalis adalah Abu Hurairah Radhiyallah 'anhu karena dianggap banyak memiliki kejanggalan. Disamping itu Abu Hurairah Radhiyallah 'anh
memiliki posisi yang sangat strategis dalam periwayatan hadits, ia
adalah orang yang paling banyak meriwayatkan hadits. Sehingga jika
'vonis' Jarh jatuh kepada Abu Hurairah Radhiyallah 'anhu,
maka seluruh hadits yang diriwayatkannya pun akan tertolak, sehingga
secara otomatis akan banyak pula ajaran-ajaran Islam yang akan terhapus.
Ash-Shahabah Kulluhum 'Udul
Kemulian para sahabat tersebut diberikan langsung oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam atas jasa dan pengorbanan mereka menemani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
dalam mendakwahkan dan memperjuangkan Islam, serta membangun peradaban
Islam dengan harta dan jiwa mereka. Melanjutkan estafet perjuangan Islam
dengan membentuk generasi baru untuk melanjutkan perjuangan hingga
Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Firman Allah Ta'ala, "Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah
menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan
yang besar". (QS. At-Taubah: 100).
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, "Janganlah
kalian mencela sahabat-sahabatku, sendainya kalian menginfaqkan emas
segunung Uhud niscaya nilainya tidak akan mencapai satu Mud atau separuh
dari kemulian salah seorang dari mereka". (HR.Bukhari).
Ayat
dan hadits di atas menunjukkan dengan jelas bahwa para sahabat adalah
orang-orang yang mendapatkan pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya,
karena mereka memiliki jasa yang teramat besar bagi Islam dan kaum
muslimin. Sehingga para ulama menetapkan bahwa seluruh sahabat
terpercaya tanpa terkecuali. Memberlakukan kaidah Jarh wa Ta'dil kepada mereka berarti melanggar nash Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Adapun
perselisihan dan kritik yang terjadi di antara mereka merupakan sebuah
kewajaran, lumrah dan manusiawi. Menurut Musthafa As-Siba'i dalam buku As-Sunnah wa Makanatuhu fi At-Tasyri Al-Islami,
hal itu terjadi karena pemahaman para sahabat terhadap Islam sangat
variatif sehingga silang pendapat dan diskusi di antara mereka sering
terjadi. Namun hal itu bukan berarti perbuatan saling mendustakan di
antara mereka, justru yang demikian itu merupakan sebuah kewajaran dan
sesuatu yang lumrah dalam tradisi keilmuan. Hal itu terjadi karena para
sahabat tidak mengetahui seluruh riwayat yang ada, padahal ada riwayat
yang menasakh riwayat sebelumnya, mentakhshish riwayat yang 'Am, mentaqyid riwayat yang muthlaq, mentafshil riwayat yang mujmal, dan seterusnya. Menukil pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani, As-Siba'i menambahkan bahwa kata 'Kadzabta' (anda dusta) dalam istilah penduduk Madinah berarti 'Akhtha'ta'
(anda keliru). Sedangkan yang terjadi pada masa fitnah adalah karena
kesalahpahaman belaka dan hasutan orang-orang munafiq yang tidak senang
terhadap Islam.
Abu Hurairah Radhiyallah 'anhu
Nama asli Abu Hurairah adalah Abdurrahman bin Shakhr, nama pemberian Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam yang sebelumnya ia bernama Abdu Syams bin Shakhr, nama inilah yang shahih menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam bukunya Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah. Ia berasal dari Dawus Yaman, sedang Kun yah Abu Hurairah karena ia sering membawa anak kucing (betina) peliharaannya.
Mengenai
namanya yang diperselisihkan oleh para ulama, Ibnu Hajar Al-Asqalani
menjelaskan bahwa perselisihan para ulama tentang nama Abu Hurairah yang
mencapai tiga puluh atau empat puluh pendapat adalah tidak benar.
Karena setelah dilakukan penelitian ternyata hanya tiga riwayat yang shahih,
yaitu riwayat yang menyebutkan nama Umair, Abdullah, dan Abdurrahman,
dua nama yang pertama adalah nama pada masa jahiliyah dan Islam
sedangkan Abdurrahman, nama ketika sudah masuk Islam. Sedangkan
nama-nama yang lain adalah hasil rekaan para perawi, seperti lafadz
Sa'ad menjadi Said atau lafadz biasa menjadi bentuk Tashghir. Dan
perbedaan pendapat para ulama tentang nama seorang sahabat hingga empat
atau enam pendapat merupakan suatu hal yang wajar, karena ada beberapa
nama sahabat yang namanya diperselisihkan hingga enam pendapat. Musthafa
As-Siba'i menambahkan bahwa kredibelitas seseorang tidak dipengaruhi
oleh namanya tapi karena tingkat intelektualitas dan amalannya. Sebab
ada beberapa nama sahabat yang tidak dikenal kecuali nama Kun yahnya, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallah 'anhu.
Abu Hurairah Radhiyallah 'anhu
datang ke Madinah dan masuk Islam ketika terjadi perang Khaibar pada
tahun ke-7 Hijriyah di saat usianya telah mencapai 30 tahun. Ia tinggal
bersama sahabat-sahabatnya dari kalangan Ahlu Shuffah, orang-orang miskin dan musafir yang tinggal di bilik Masjid Nabawi dan hidup dari hasil pemberian Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam dan kaum muslimin. Dengan kondisi demikian, ia memiliki kesempatan banyak untuk belajar dari Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam dan banyak meriwayatkan hadits karena selalu bertemu dan menemani Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam. Ia mampu menghafal dan meriwayatkan hadits sebanyak 5374 dalam kurun waktu kurang lebih 4 tahun. Karena rentang waktu antara Khaibar dan wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam adalah4 tahun beberapa hari, menurut pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani dan Adz-Dzahabi.
Kemampuan Abu Hurairah Radhiyallah 'anhu menghafalkan hadits sebanyak itu karena selalu bersama (Mulazamah) Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam.
Berbeda dengan para sahabat lainnya yang memiliki kesibukan mengurus
ladang dan perdagangannya, ada pula yang perhatiannya dicurahkan untuk
membantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam urusan peperangan dan pertahanan negara Madinah. Sedangkan Abu Hurairah menetap di bilik Masjid menjadi ahlu Ash-Shuffah yang kehidupannya berasal dari pemberian Rasulullah Shallallah 'alaihi wasallam. Sebagaimana ia ceritakan sendiri, "Jika kalian bertanya kenapa Abu Hurairah banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallah 'alaihi wasallam sedangkan
sahabat Muhajirin dan Anshar tidak banyak meriwayatkan hadits seperti
Abu Hurairah. Ketahuilah, para sahabat-sahabatku dari kalangan Muhajirin
banyak disibukkan dengan urusan perniagaan mereka di pasar sedangkan
aku selalu bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, aku
bersamanya ketika mereka tidak ada, aku menghafal ketika mereka
melupakan…". (HR. Bukhari dan Muslim,). Disamping itu, Abu Huirairah pernah dido'akan oleh Rasulullah Shallallahu 'alahi wasallam, sebagaimana yang juga ia ceritakan, "Wahai
Rasulullah aku banyak mendengar hadits darimu tapi aku sering lupa".
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Hamparkanlah
kainmu", lalu aku menghamparkannya, kemudian beliau memasukkan kedua
tangannya, lalu bersabda, "Ikatlah", kemudian aku pun mengikatnya,
setelah itu aku tidak pernah lupa sedikitpun". (HR. Bukhari).
Khatimah
Tuduhan yang dilakukan oleh para orientalis terhadap Abu Hurairah ternyata tidak terbukti Radhiyallah 'anhu
tidak terbukti, sehingga hadits yang diriwayatkannya pun dapat diterima
sebagaimana yang telah disepakati seluruh ulama dan kaum muslimin. Para
ulama telah membuat proteksi yang kuat untuk menjaga hadits dari
serangan musuh-musuh Islam dengan kaidah-kaidah baku yang tidak bisa
ditembus oleh siapapun bahkan para orientalis sekalipun.