EXISTENSI PEREMPUAN DALAM AGAMA
(Oleh: Hasanal Khuluqi)
Pendahuluan.
Memperbincangkan
seputar permasalah perempuan memang tidak akan pernah habis. Hal ini
dibuktikan dengan terbitnya berbagai macam buku, majalah, atau buletin
yang isinya membahas perempuan. Dari berbagai macam buku yang terbit
tersebut, selalu saja ada wacana baru tentang perempuan.
Seiring
dengan perkembangan zaman, peran perempuan dalam pranata kehidupan
social maupun politik semakin banyak diperdebatkan. Dari sini, kemudian
muncul gerakan-gerakan yang mengatasnamakan perempuan, yang mengusung
kesamaan kedudukan antara peran laki-laki dan perempuan.
Kalau
kita melihat ke dalam agama Islam, Islam telah menempatkan posisi
perempuan dalam kedudukan yang tinggi, karena seorang perempuan dalam
Islam adalah menjadi madrasah pertama dalam upaya membangun masyarakat
yang shalih. Al-Qur’an telah menjelaskan betapa pentingnya peran seorang
perempuan, baik ia sebagai seorang ibu, istri, saudara perempuan, atau
sebagai anak sekalipun. Demikian juga dengan hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya telah di jelaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah
Rasul SAW.
Pandangan Negatif Terhadap Perempuan.
Sebelum
Islam datang, perempuan kala itu hanya di pandang “sebelah mata”.
Bahkan para tokoh-tokoh terkemuka pada zaman dahulu telah melekatkan
predikat yang yang negative terhadap perempuan, baik dalam tata nilai
masyarakat, kebudayaan, hukum, dan juga dalam percaturan politik.
Perempuan di masa jahiliyah (sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam)
pada umumnya tertindas dan terkungkung khususnya di lingkungan bangsa
Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan fenomena ini menimpa di seluruh
belahan dunia. Bentuk penindasan ini di mulai sejak kelahiran sang bayi,
aib besar bagi sang ayah bila memiliki anak perempuan. Sebagian mereka
tega menguburnya hidup-hidup dan ada yang membiarkan hidup tetapi dalam keadaan rendah dan hina bahkan dijadikan sebagai harta warisan dan bukan termasuk ahli waris. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan
apabila seorang dari mereka diberi khabar dengan kelahiran anak
perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia memeliharanya dengan menanggung
kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah. Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An Nahl: 58-59)
Dari
zaman klasik hingga zaman awal abad modern, di mana di dalamnya
terdapat tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas dan
John Lucke, mereka memandang citra dan kedudukan perempuan tidak pernah
dianggap setara dengan laki-laki. Wanita disamakan dengan budak (hamba
sahaya) dan anak-anak, bahkan mereka dianggap lemah secara fisik maupun
akalnya. Ungkapan-ungkapan yang negative selalu ditujukan kepada
perempuan, sebagaimana Dr. Syamsuddin Arif dalam majalah”Al-Insan” yang
mengutip perkataan Tertullian: “Tidakkah engkau menyadari bahwa
engkaulah si Hawa itu? Kutukan yang dijatuhkan Tuhan kepada kaum
sejenismu akan terus memberatkan dunia. Karena bersalah maka engkau
mesti menanggung derita. Engkaulah pintu masuknya setan.”
Dalam pandangan St. John Chrysostom: “It
does not profit a man ta marry. For what is a woman but an enemy of
friendship, an inescapable punishment, a necessary evil, a natural
temptation, a domestic danger, delectable mischief, a fault in nature,
painted with beautiful colors.” (Tidak ada gunanya laki-laki
menikah. Toh, perempuan itu tidak lain dan tidak lebih merupakan lawan
dari persahabatan, hukuman yang tak terelakkan, kejahatan yang
diperlukan, godaan alami, musuh dalam selimut, gangguan yang
menyenangkan, ketimpangan tabiat, yang dipole dengan warna-warna indah).
Sedangkan dalam kaca mata St. Albertus Magnus, “Perempuan adalah
laki-laki yang cacat sejak awalnya, serba kurang disbanding laki-laki.
Makhluk yang tidak pernah yakin pada dirinya sendiri dan cenderung
melakukan berbagai cara demi mencapai keinginannya, dengan berdusta dan
tipu muslihat ala iblis. Perempuan tidak cerdas, namun licik, seperti
ular berbisa dan setan bertanduk. Jika rasio menuntun laki-laki kepada
kebaikan, emosi menyeret perempuan kepada kejahatan”.
Islam Memandang Perempuan.
Cara
Islam memperlakukan perempuan sungguh sangat jauh berbeda dengan
masa-masa sebelum kedatangan Islam. Sebelum Islam datang, perempuan
menempati posisi yang sangat hina, akan tetapi setelah kedatangan Islam,
perempuan di angkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Di mata sang
Khalik, kedudukan manusia tidak dipandang apakah ia laki-laki atau
perempuan, akan tetapi di lihat dari seberapa besar tingkat keimanan dan
ketaqwaannya kepada Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Hujurat
ayat 13:
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Tidak
ada satupun tatanan yang dapat memberikan hak-hak kepada kaum
perempuan, memelihara kemuliaan dan kehormatan mereka seperti halnya
tatanan Islam. Tidak ada satu (Manhaj) pedoman pun yang dapat memberikan
kewajiban kepada perempuan sehingga kehidupan manusia menjadi lurus dan
diridhoi Allah seperti halnya pedoman Islam. Dan manusia tidak akan
mampu menggapai kemuliaan yang diberikan Allah, kecuali bila ia memiliki
hak-hak yang dipegangnya dengan teguh dan berkomitmen untuk
melaksanakannya.
Sistem
Islam yang bersumber dari Allah sebagai pencipta manusia tentu tidak
ada cacatnya. Allah telah memberikan karunia kepada manusia dengan cara
memilih Nabi Muhammad sebagai Rosul bagi mereka, dan membekalinya dengan
konsep dan manhaj (pedoman) yang sangat sempurna, yaitu AL-ISLAM. Dan
konsep serta pedoman itu berlaku bagi kaum laki-laki dan perempuan.
Allah juga telah menyamakan laki-laki dan perempuan berkaitan dengan
masalah taklif (beban) dan kewajiban (http://immasjid.com/cetak.php?id=278)
Penutup.
Sebagai penutup, mari sama-sama kita renungkan firman Allah SWT. yang artinya “Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)
Islam
memandang kedudukan manusia tidak dari golongan laki-laki atau
perempuan, akan tetapi sejuah mana manusia itu memiliki tingkat
ketaqwaan kepada Allah SWT. Sebuah sistem atau pedoman yang
berlebih-lebihan dalam memberikan hak-haknya tanpa adanya keseimbangan
dan kesederhanaan sama saja dengan merusak orang-orang yang memiliki
hak-hak tersebut. Begitu pula dengan sistem atau pedoman yang membebani
manusia dengan kewajiban yang berlebih-lebihan maka itu justru akan
merusak kehidupan manusia itu sendiri, sekaligus menyia-nyiakan hak-hak
mereka dan orang lain.