July 30, 2011

EXISTENSI Perempuan Dalam AGAMA

EXISTENSI PEREMPUAN DALAM AGAMA
(Oleh: Hasanal Khuluqi)
Pendahuluan.
Memperbincangkan seputar permasalah perempuan memang tidak akan pernah habis. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya berbagai macam buku, majalah, atau buletin yang isinya membahas perempuan. Dari berbagai macam buku yang terbit tersebut, selalu saja ada wacana baru tentang perempuan.
Seiring dengan perkembangan zaman, peran perempuan dalam pranata kehidupan social maupun politik semakin banyak diperdebatkan. Dari sini, kemudian muncul gerakan-gerakan yang mengatasnamakan perempuan, yang mengusung kesamaan kedudukan antara peran laki-laki dan perempuan.
Kalau kita melihat ke dalam agama Islam, Islam telah menempatkan posisi perempuan dalam kedudukan yang tinggi, karena seorang perempuan dalam Islam adalah menjadi madrasah pertama dalam upaya membangun masyarakat yang shalih. Al-Qur’an telah menjelaskan betapa pentingnya peran seorang perempuan, baik ia sebagai seorang ibu, istri, saudara perempuan, atau sebagai anak sekalipun. Demikian juga dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya telah di jelaskan dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul SAW.
Pandangan Negatif  Terhadap Perempuan.
            Sebelum Islam datang, perempuan kala itu hanya di pandang “sebelah mata”. Bahkan para tokoh-tokoh terkemuka pada zaman dahulu telah melekatkan predikat yang yang negative terhadap perempuan, baik dalam tata nilai masyarakat, kebudayaan, hukum, dan juga dalam percaturan politik.
Perempuan di masa jahiliyah (sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) pada umumnya tertindas dan terkungkung khususnya di lingkungan bangsa Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan fenomena ini menimpa di seluruh belahan dunia. Bentuk penindasan ini di mulai sejak kelahiran sang bayi, aib besar bagi sang ayah bila memiliki anak perempuan. Sebagian mereka tega menguburnya hidup-hidup dan ada yang membiarkan hidup tetapi dalam keadaan rendah dan hina bahkan dijadikan sebagai harta warisan dan bukan termasuk ahli waris. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan apabila seorang dari mereka diberi khabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah. Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An Nahl: 58-59)
Dari zaman klasik hingga zaman awal abad modern, di mana di dalamnya terdapat tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas dan John Lucke, mereka memandang citra dan kedudukan perempuan tidak pernah dianggap setara dengan laki-laki. Wanita disamakan dengan budak (hamba sahaya) dan anak-anak, bahkan mereka dianggap lemah secara fisik maupun akalnya. Ungkapan-ungkapan yang negative selalu ditujukan kepada perempuan, sebagaimana Dr. Syamsuddin Arif dalam majalah”Al-Insan” yang mengutip perkataan Tertullian: “Tidakkah engkau menyadari bahwa engkaulah si Hawa itu? Kutukan yang dijatuhkan Tuhan kepada kaum sejenismu akan terus memberatkan dunia. Karena bersalah maka engkau mesti menanggung derita. Engkaulah pintu masuknya setan.”
Dalam pandangan St. John Chrysostom: “It does not profit a man ta marry. For what is a woman but an enemy of friendship, an inescapable punishment, a necessary evil, a natural temptation, a domestic danger, delectable mischief, a fault in nature, painted with beautiful colors.” (Tidak ada gunanya laki-laki menikah. Toh, perempuan itu tidak lain dan tidak lebih merupakan lawan dari persahabatan, hukuman yang tak terelakkan, kejahatan yang diperlukan, godaan alami, musuh dalam selimut, gangguan yang menyenangkan, ketimpangan tabiat, yang dipole dengan warna-warna indah). Sedangkan dalam kaca mata St. Albertus Magnus, “Perempuan adalah laki-laki yang cacat sejak awalnya, serba kurang disbanding laki-laki. Makhluk yang tidak pernah yakin pada dirinya sendiri dan cenderung melakukan berbagai cara demi mencapai keinginannya, dengan berdusta dan tipu muslihat ala iblis. Perempuan tidak cerdas, namun licik, seperti ular berbisa dan setan bertanduk. Jika rasio menuntun laki-laki kepada kebaikan, emosi menyeret perempuan kepada kejahatan”.
Islam Memandang Perempuan.
Cara Islam memperlakukan perempuan sungguh sangat jauh berbeda dengan masa-masa sebelum kedatangan Islam. Sebelum Islam datang, perempuan menempati posisi yang sangat hina, akan tetapi setelah kedatangan Islam, perempuan di angkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Di mata sang Khalik, kedudukan manusia tidak dipandang apakah ia laki-laki atau perempuan, akan tetapi di lihat dari seberapa besar tingkat keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Hujurat ayat 13:
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Tidak ada satupun tatanan yang dapat memberikan hak-hak kepada kaum perempuan, memelihara kemuliaan dan kehormatan mereka seperti halnya tatanan Islam. Tidak ada satu (Manhaj) pedoman pun yang dapat memberikan kewajiban kepada perempuan sehingga kehidupan manusia menjadi lurus dan diridhoi Allah seperti halnya pedoman Islam. Dan manusia tidak akan mampu menggapai kemuliaan yang diberikan Allah, kecuali bila ia memiliki hak-hak yang dipegangnya dengan teguh dan berkomitmen untuk melaksanakannya.
Sistem Islam yang bersumber dari Allah sebagai pencipta manusia tentu tidak ada cacatnya. Allah telah memberikan karunia kepada manusia dengan cara memilih Nabi Muhammad sebagai Rosul bagi mereka, dan membekalinya dengan konsep dan manhaj (pedoman) yang sangat sempurna, yaitu AL-ISLAM. Dan konsep serta pedoman itu berlaku bagi kaum laki-laki dan perempuan. Allah juga telah menyamakan laki-laki dan perempuan berkaitan dengan masalah taklif (beban) dan kewajiban (http://immasjid.com/cetak.php?id=278)

Penutup.
Sebagai penutup, mari sama-sama kita renungkan firman Allah SWT. yang artinya “Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)
Islam memandang kedudukan manusia tidak dari golongan laki-laki atau perempuan, akan tetapi sejuah mana manusia itu memiliki tingkat ketaqwaan kepada Allah SWT. Sebuah sistem atau pedoman yang berlebih-lebihan dalam memberikan hak-haknya tanpa adanya keseimbangan dan kesederhanaan sama saja dengan merusak orang-orang yang memiliki hak-hak tersebut. Begitu pula dengan sistem atau pedoman yang membebani manusia dengan kewajiban yang berlebih-lebihan maka itu justru akan merusak kehidupan manusia itu sendiri, sekaligus menyia-nyiakan hak-hak mereka dan orang lain.






Artikel Lainnya: