Meski tahu bergosip itu bukan kebiasaan yang baik, tapi hanya sedikit orang yang dengan sadar menghindarinya. Begitu mendengar ada gosip, kita langsung penasaran ingin tahu lebih dalam, walau topik yang digosipkan adalah masalah pribadi orang lain.
Problema terhanyut dalam lingkaran gosip memang sulit dihindari. Salah satu penyebabnya adalah sistem visual kita terprogram untuk fokus pada gosip negatif yang kita dengar. Selain itu, ternyata otak manusia mengingat gosip negatif lebih kuat daripada gosip positif atau gosip yang netral.
"Secara alamiah kita memang lebih sensitif pada informasi yang mungkin berpotensi mengancam kehidupan kita," kata Irving Biederman, ahli neuroscience dari California Amerika Serikat.
Walaupun topik dalam gosip itu mengenai orang lain, namun bukan tidak mungkin suatu saat akan menimpa kita. Misalnya tentang PHK karyawan atau perselingkuhan.
"Kita bisa mengambil keuntungan dari gosip negatif yang kita dengar dengan cara menghindari hal itu agar tidak terjadi pada kita," kata ketua peneliti Eliza Bliss-Moreau, dari California, AS.
Studi sebelumnya juga mengungkapkan, manusia berevolusi sedemikian rupa untuk memiliki kecenderungan menghakimi dan senang membicarakan orang lain.
Meski ada banyak kategori pembicaraan dengan orang lain, mulai dari salam, penjelasan, berbohong atau menceritakan rahasia, namun yang paling disukai orang adalah membicarakan orang lain. Bahkan, meski pembicaraan diawali dengan topik tentang cuaca, pada akhirnya mereka akan membicarakan orang lain.
Ahli primata Robin Dunbar dari Universitas Oxford Inggris mengatakan, bahwa gosip tidak selalu berarti buruk. Dunbar menjelaskan, gosip telah melalui seleksi evolusi sebagai salah satu cara untuk menyatukan kelompok manusia.
Pada awalnya, menurut Dunbar, primata seperti babon hidup berkelompok dan menggunakan perawatan diri sebagai alat sosial untuk menjalin, menjaga dan memutus hubungan sosial. Namun dalam sejarah evolusi, kelompok manusia sebagian besar dan tidak ada yang punya waktu lagi untuk memperhatikan penampilan orang lailn. Gosip atau membicarakan orang lain kemudian menggantikannya sebagai perekat ikatan sosial.
Walau gosip mungkin secara alami sudah ada dalam setiap lingkungan sosial, tetapi manusia tidak terlahir untuk bergosip. Anak-anak belajar seni komunikasi melalui lingkungannya, mulai dari bicara dengan sopan pada orangtua, tidak menyumpah pada orang lain, atau menggunakan tata bahasa yang baik. Termasuk, kebiasaan menggosipkan orang lain.
Dengan kata lain, meski kita punya kecenderungan untuk menyukai gosip, tetapi kesukaan itu tidak harus dipupuk. Malah, kita bisa mengajar anak-anak untuk menghindari gosip dengan cara "menjaga lidah" untuk tidak sering-sering membicarakan berita negatif tentang orang lain.
Problema terhanyut dalam lingkaran gosip memang sulit dihindari. Salah satu penyebabnya adalah sistem visual kita terprogram untuk fokus pada gosip negatif yang kita dengar. Selain itu, ternyata otak manusia mengingat gosip negatif lebih kuat daripada gosip positif atau gosip yang netral.
"Secara alamiah kita memang lebih sensitif pada informasi yang mungkin berpotensi mengancam kehidupan kita," kata Irving Biederman, ahli neuroscience dari California Amerika Serikat.
Walaupun topik dalam gosip itu mengenai orang lain, namun bukan tidak mungkin suatu saat akan menimpa kita. Misalnya tentang PHK karyawan atau perselingkuhan.
"Kita bisa mengambil keuntungan dari gosip negatif yang kita dengar dengan cara menghindari hal itu agar tidak terjadi pada kita," kata ketua peneliti Eliza Bliss-Moreau, dari California, AS.
Studi sebelumnya juga mengungkapkan, manusia berevolusi sedemikian rupa untuk memiliki kecenderungan menghakimi dan senang membicarakan orang lain.
Meski ada banyak kategori pembicaraan dengan orang lain, mulai dari salam, penjelasan, berbohong atau menceritakan rahasia, namun yang paling disukai orang adalah membicarakan orang lain. Bahkan, meski pembicaraan diawali dengan topik tentang cuaca, pada akhirnya mereka akan membicarakan orang lain.
Ahli primata Robin Dunbar dari Universitas Oxford Inggris mengatakan, bahwa gosip tidak selalu berarti buruk. Dunbar menjelaskan, gosip telah melalui seleksi evolusi sebagai salah satu cara untuk menyatukan kelompok manusia.
Pada awalnya, menurut Dunbar, primata seperti babon hidup berkelompok dan menggunakan perawatan diri sebagai alat sosial untuk menjalin, menjaga dan memutus hubungan sosial. Namun dalam sejarah evolusi, kelompok manusia sebagian besar dan tidak ada yang punya waktu lagi untuk memperhatikan penampilan orang lailn. Gosip atau membicarakan orang lain kemudian menggantikannya sebagai perekat ikatan sosial.
Walau gosip mungkin secara alami sudah ada dalam setiap lingkungan sosial, tetapi manusia tidak terlahir untuk bergosip. Anak-anak belajar seni komunikasi melalui lingkungannya, mulai dari bicara dengan sopan pada orangtua, tidak menyumpah pada orang lain, atau menggunakan tata bahasa yang baik. Termasuk, kebiasaan menggosipkan orang lain.
Dengan kata lain, meski kita punya kecenderungan untuk menyukai gosip, tetapi kesukaan itu tidak harus dipupuk. Malah, kita bisa mengajar anak-anak untuk menghindari gosip dengan cara "menjaga lidah" untuk tidak sering-sering membicarakan berita negatif tentang orang lain.
Sumber : http://www.gallerydunia.com/2011/10/ini-alasan-mengapa-manusia-senang-gosip.html